PLURALISME BUDAYA DAN TANTANGAN ARUS GLOBALISASI INDONESIA

GROUP WORK
Prepared by: Andrie Irawan, Christina, Lea Helen, Nastasya Victoria, Wincent Octavianus



BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Indonesia terdiri dari ribuan pulau, ratusan etnis, bahasa, dan seni sudah lama menjadi sebuah masyarakat dengan pluralisme budaya. Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia telah mengalami difusi kebudayaan sejak berabad abad yang lampau. Kepulauan ini pernah dihuni oleh berbagai jenis ras seperti manusia Pithecanthropus Erectus (Homo Soloensis), Austro Melanesoid, Mongoloid, Proto Melayu, dan lain-lain yang semuanya meningalkan sisa-sisa kebudayaannya sampai sekarang. Agama-agama besar seperti Islam, Hindu, Budha, Kristen dan Katolik juga memberi warna dan corak kepada kebudayaan Indonesia yang ada sekarang. Belum diperhitungkan pengaruh kebudayaan Barat yang sedikit banyak menjadikan kebudayaan Nusantara lebih plural dan unik. Menurut C.A. van Peursen Indonesia kini masih memiliki kebudayaan majemuk yang bersifat mistis, ontologis dan fungsional.
Namun, seperti yang kita tahu, sekarang budaya asli Indonesia semakin “terjajah” oleh masuknya budaya asing sebagai akibat dari adanya arus globalisasi. Saluran-saluran globalisasi sekarang makin beragam dan makin canggih. Ada yang merupakan alat-alat elektronik, media cetak, film, pemain olahraga, yang semuanya menawarkan hal yang menggiurkan. Pakaian resmi yang diwajibkan untuk dikenakan oleh Pemerintah pada upacara kenegaraan pun sebenarnya merupakan hasil globalisasi. Dalam hal ini, budaya Indonesia telah dikalahkan. Bila Indonesia memang ingin disejajarkan dengan bangsa-bangsa lain, bangsa Indonesia harus menjadi bangsa yang modern – dimana perubahan ini berkaitan erat pula dengan gejala globalisasi. Dari sini pun kita harus sadar dan tidak dapat memungkiri bahwa sebuah arus globalisasi memang sukar dibendung.

1.2. Identifikasi Masalah
Masalah yang diangkat dalam makalah ini sebagai akibat adanya pluralisme budaya dan arus globalisasi adalah:
· Adanya ketakutan dan penghindaran masyarakat akan datangnya arus globalisasi
· Peran besar Pancasila untk menjadi filter dalam menghadapi arus globalisasi
· Ada tidaknya inisiatif bangsa Indonesia untuk melestarikan budaya Indonesia di kala arus globalisasi yang menghantam budaya Indonesia.

1.3. Perumusan Masalah
Perumusan masalah pada makalah ini mengarah kepada 3 (tiga) pertanyaan yang mengacu pada identifikasi masalah, yaitu “Apakah globalisasi itu sesuatu yang perlu ditakuti dan dihindari atau dibendung?”, “Seberapa besar peran Pancasila untuk menjadi filter dalam menghadapi globalisasi?” dan “Apa yang dapat kita lakukan untuk tetap melestarikan budaya Indonesia di kala arus globalisasi semakin kencang menghantam budaya kita?”

1.4. Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan penulisan dari makalah yang kami buat ini adalah untuk menydarkan bangsa Indonesia bahwa globalisasi tidak perlu ditakuti dan dihindari atau dibendung. Juga bertujuan untuk mengetahui seberapa besar peran pancila untuk menjadi filter dalam menghadai arus globalisasi terhadap kebudayaan Indonesia. Masyarakat Indonesia juga dapat berperan dalam melestarikan budaya Indonesia di kala arus globalisasi byang semakin kencang menhanta budaya Indonesia.

BAB II
KERANGKA TEORITIS

2.1. Definisi Antropologi
2.1.1. Definisi Etimologis Antropologi
Antropologi berasal dari kata Yunani άνθρωπος (baca: anthropos) yang berarti "manusia" atau "orang", dan logos yang berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial.

2.1.2. Definisi Konseptual Antropologi
Lima di antara banyak ahli mendefinisikan antropologi sebagai berikut:
Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia.

Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.
4. Ralfh L Beals dan Harry Hoijen : 1954: 2
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dan semua apa yang dikerjakannya.
5. Priscilla Hart
Antropologi merupakan bagian dari teologi Kristiani mengenai asal-usul, sifat dan masa depan manusia, terutama perbedaannya dengan sifat Tuhan: “mengubah antropologi gereja dengan memasukkan citra positif dari diri wanita ke dalamnya”.

2.1.3. Definisi Operasional Antropologi
Dari 5 (lima) definisi para ahli di atas, kelompok kami menyimpulkan bahwa antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia serta segala sesuatu yang bersangkutan dengan manusia, antara lain norma-norma, nilai, bentuk masyarakat dan agama.

2.1.4. Instrumen Variabel Teori Antropologi
Berikut adalah tabel dari instrumen variabel teori antropologi:
Variabel Konsep
(Teori)
Dimensi
Indikator
ANTROPOLOGI
1. Norma
1. Norma Agama
2. Norma Kebudayaan
3. Norma Kesopanan
4. Norma Sosial
5. Norma Hukum

2. Nilai
1. Nilai Material
2. Nilai Vital
3. Nilai Keindahan
4. Nilai Kebenaran
5. Nilai Moral

3. Agama
1. Agama Islam
2. Agama Kristen
3. Agama Katolik
4. Agama Buddha
5. Agama Hindu















2.2. Definisi Kebudayaan

2.2.1. Definisi Etimologis Kebudayaan
Kata kebudayaan berasal dari kata buddhayah dalam bahasa Sansekerta, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi ata akal. Dengan ini kebudayaan dapat dikatakan sebagai hal-hal yang berkaitan/bersangkutan dengan akal. Baik pula diketahui kata culture yaitu bahasa Inggris yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai kebudayaan, berasal dari bahasa Latin yaitu kata colere, yang artinya mengolah atau mengerjakan.

2.2.2. Definisi Konseptual Kebudayaan
Lima di antara banyak ahli mendefinisikan kebudayaan sebagai berikut:

1. Edward B. Tylor (1871)
Kebudayaan merupakan keseluruhan cara hidup masyarakat. Ia merangkumi cara hidup yang termasuk ilmu pengetahuan, kepercayaan seni, undang-undang, moral, adat istiadat dan kemahiran-kemahiran lain yang biasanya dipelajari oleh manusia sebagai seorang anggota di dalam masyarakatnya.
Kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
3. Herskovits
Ia memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Ia mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri.

2.2.3. Definisi Operasional Kebudayaan
Dari 5 (lima) definisi para ahli di atas, kelompok kami menyimpulkan bahwa kebudayaan adalah sarana yang digunakan oleh masyarakat termasuk sudut pandang, ilmu pengetahuan, seni, bahasa, dan sebagainya yang diciptakan masyarakat itu sendiri untuk berhubungan /berkomunikasi dengan masyarakat lainnya.

2.2.4. Instrumen Variabel Teori Kebudayaan
Berikut adalah tabel dari instrumen variabel teori kebudayaan:

Variabel Konsep
(Teori)
Dimensi
Indikator
KEBUDAYAAN
1.Ilmu Pengetahuan
1. Ilmu Pengetahuan Alam
2. Ilmu Pengetahuan Sosial
3. Agama
4. Kewarganegaraan
5. Geografi

2. Seni
1. Seni Rupa
2. Seni Musik
3. Seni Tari
4. Seni Suara
5. Seni Pahat

3. Bahasa
1. Bahasa Jawa
2. Bahasa Madura
3. Bahasa Sunda
4. Bahasa Batak
5. Bahasa Melayu


BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

3.1. Unsur-unsur Budaya
Mempelajari sejarah kebudayaan yang terdapat pada seluruh bangsa dan di seluruh dunia, ternyata kelompok, masyarakat, atau yang disebut bangsa hidup dengan cara-cara yang dibentuknya sendiri. Cara-cara tersebut berbeda dari cara-cara kelompok, masyarakat, atau bangsa lain. Kalau dikatakan bahwa suatu kelompok, masyarakat atau bangsa mempunyai budaya sendiri, maka yang paling nyata membedakannya dari budaya orang lain ialah perbedaan cara-cara tadi. Perbedaan cara-cara itu terlihat dalam kegiatan hidup yang langsung dapat diamati dari penganut budaya yang bersangkutan. Bentuk rumah (arsitektur), peralatan, pakaian, cara bertani, adapt istiadat, kesenian, ritual, dan seremoni, dan lain-lain yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia yang merupakan hasil budaya yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui semacam pendidikan. Jadi, sesuatu yang dipelajari dan bukan merupakan hasil naluri yang diwarisi oleh binatang dari induknya.
Ada pula unsur budaya yang tidak dapat langsung dilihat. Misalnya, norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam budaya. Gagasan-gagasan pun adalah sesuatu yang tidak mudah dilihat dan dipahami. Dan semakin tinggi perkembangan kebudayaan, semakin kompleks pula gagasan-gagasan maupun wawasan-wawasan kebudayaan yang bersangkutan. (Contoh: filsafat, pandangan hidup, Weltanschauung, ilmu, dan sistem nilai).
Walaupun budaya-budaya itu berbeda dan dapat dilihat pada unsur-unsur yang membedakannya, semua budaya juga mempunyai banyak persamaan. Unsur-unsur demikian disebut unsur-unsur semestaan (universal). Perbedaan dari segi budaya, juga berbeda dari tingkat kecerdasaan, pendidikan, dan kemajuan penganut budaya masing-masing. Seperti contoh, alat penebang pohon di Irian Jaya barangkali masih terbuat dari batu, dan di Kanada terbuat dari gergaji mesin yang keefektifannya dan efisiensinya sangat tinggi. Persamaan dan perbedaan yang terdapat di antara kebudayaan yang berbeda sangat besar jumlahnya. Luas cakupannya sama dengan luas cakupan hidup manusia itu sendiri.
Unsur-unsur yang membentuk sebuah budaya sangat besar jumlahnya dan satu sama lain terkait untuk membentuk konfigurasi yang rumit. Itulah sebabnya maka budaya itu sulit didefinisikan dan mengapa terdapat banyak pula definisinya, walaupun perwujudan budaya itu dialami oleh pendukungnya setiap saat dalam hidupnya dan kadang-kadang bahkan dipikirkannya. Pada satu kurun waktu, beberapa dari unsur-unsur pembentuknya menonjol sehingga memberi semacam ciri khas kepada budaya yang bersangkutan.

3.2. Pengaruh Globalisasi pada Budaya Asli
Budaya pada dasarnya tidak ada yang asli; dalam arti tidak semua unsurnya selalu berasal dari dalam budaya itu sendiri. Budaya yang tidak terpengaruh oleh budaya lain akan terisolasi dan tidak berkembang dan pada akhirnya akan lenyap. Untuk berkembang, budaya memerlukan sentuhan dan pengaruh dari luar. Budaya etnis yang lokasinya sangat terpencil boleh dikatakan sedang mengalami kematian yang pelan-pelan; terutama budaya yang pendukungnya terdiri dari hanya beberapa ribu atau ratusan orang, atau bahkan puluhan orang saja.
Pengaruh atau pengambilan unsur-unsur budaya dari luar sebenarnya bertujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup bangsa penerima. Ambil-mengambil atau pinjam-meminjam di bidang budaya sudah terjadi sejak manusia sudah mengenal budaya ribuan tahun yang lalu. Memang ada kurun waktu tertentu dimana pinjam-meminjam itu terjadi sangat lambat (ratusan tahun) dan ada kurun waktu dimana pinjam-meminjam itu sangat cepat terjadi. Dari informasi di atas, sudah dapat kita bayangkan bahwa sebenarnya apa yang kita sebut “globalisasi” itu sudah terjadi atau dimulai ribuan tahun yang lampau.

3.3. Peran Pancasila sebagai “Penyaring” dan Pelestarian Budaya
Bangsa Indonesia dengan filsafat pancasilanya pasti dapat menyaring apa-apa saja yang perlu masuk melalui globalisasi. Dengan masih berfungsinya budaya-budaya etnis, bahkan, sekarang ini ada gejala menghidupkan dan mengembangkan apa saja yang berbau etnis, maka arus globalisasi itu akan ternetralisasi juga. Jadi, tidak akan ada kemungkinan punahnya budaya-budaya etnis, apalagi yang terpelihara baik oleh para penduduknya. Bahwa ada efek-efek leveling (perataan) akibat budaya dunia yang masuk melalui globalisasi dan juga oleh pengaruh budaya nasional yang disebut budaya supraetnis ridak perlu dirisaukan benar. Malah dengan adanya kesempatan bagi rakyat Indonesia untuk melihat dan mengikuti peristiwa-peristiwa di luar negri, maka maka mereka mempunyai bahan perbandingan. Pendidikan juga yang merupakan proses globalisasi sedang kita galakkan sekarang ini.
Sehubungan dengan proses pemerataan (leveling effect) yang terjadi dan bisa terjadi atas budaya-budaya etnis di Indonesia sebagai akibat globalisasi budaya luar negeri dan budaya nasional Indonesia yang supraetnis itu, banyak orang yang merasa was-was. Ada yang berbicara bahwa orang Batak kehilangan kebatakannya, orang Jawa kehilangan budayanya yang adiluhung dan berbagai macam ratapan akan kehilangan sesuatu yang sangat berharga disuarakan. Namun, di pihak lain, timbul juga usaha-usaha menghidupkan, melestarikan, dan mengembangkan budaya-budaya etnis. Ada yang mengambil bentuk kegiatan dan organisasi ilmiah seperti Javanologi, Sundanologi, Balinologi, dan “logi” lain lagi dan perkumpulan atau paguyuban. Pengamatan sepintas memperlihatkan bahwa diantara usaha-usaha yang dilakukan dibidang pelestarian dalam mempertahankan bentuk aslinya.
Selain usaha pelestarian yang dicoba diusahakan, ada pula upaya-upaya mengkinikan unsur-unsur budaya, terutama unsur-unsur keseniannya. Kreasi baru ditampilkan atau dieksperimenkan dengan memakai akar budaya lama yang dipadu dengan pengungkapan-pengungkapan jiwa dan nilai-nilai baru sesuai dengan perubahan yang terjadi, misalnya orkes “gondang Batak” tradisional yang dipadu dengan orkes hasil budaya Eropa.
Jika semakin banyak bentuk-bentuk kesenian daerah dapat dijadikan demikian, maka arus semacam “globalisasi” lokal pun bisa terjadi. Dan yang lebih penting lagi, dampaknya sangat besar dalam membina kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia.

3.4. Globalisasi Bukan Untuk Dihindari
Arus dan akibat globalisasi yang berasal dari luar Indonesia terhadap budaya Indonesia dan juga yang berasal dari dalam Indonesia sendiri terhadap budata-budaya etnis sudah kita bicarakan secara sepintas di atas. Dampaknya tidak selalu negatif, bahkan dalam memasuki abad ke-21 yang sudah dekat itu kita sudah harus sunguh-sunguh mempersiapkan diri. Dari nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, cara bekerja, cara hidup, bahkan pandangan hidup kita yang tradisional dan etnis itu ada yang harus kita tinggalkan atau kita sesuaikan dengan perubahan zaman. Kita harus ingat pula bahwa budaya itu tidak pernah statis. Dan selalu berubah.
Sekarang ada baiknya kita singgung juga, hubungan budaya nasional dan budaya-budaya etnis atau daerah. Ada pengamat yang berpendapat bahwa budaya nasional akan dan sudah melanda etnis. Ada benarnya pendapat demikian. Pendapat demikian didasarkan pada konsep kebudayaan secara sempit, yang melihat unsur-unsur kesenian saja sebagai perwujudan kebudayaan. Dalam menilai untung ruginya pengaruh budaya nasional terhadap budaya etnis, kita harus memakai perhitungan makro dan dasar kepentingan nasional secara keseluruhan.
Walaupun ada dampak “negatif” arus “globalisasi” budaya nasional terhadap budaya-budaya etnis dapat diramalkan bahwa keetnisan masyarakat Indonesia tidak akan hilang sama sekali. Di samping tercantum sebagai macam tekad dalam lambang kebangsaan kita Bhinneka Tunggal Ika, orang-orang Indonesia tidak akan ingin meninggalkan keetnisannya sebagai idenitas diri.
Bahkan dalam rumusan yang terdapat di dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa puncak-puncak kebudayaan daerah termasuk kebudayaan nasional. Rumusan dan pengertian sebenarnya dari pernyataan seperti itu tidak perlu diperdebatkan. Yang perlu dipikirkan ialah bagaimana budaya nasional itu. Dalam masyarakat Indonesia yang meliputi seluruh wilayah Indonesia dan yang berbudaya nasional yang supraetnis itu setiap orang harus merasa memiliki, turut memiliki hak dan kewajiban membangun bangsanya sebagai pengamalan Pancasila. Unsur-unsur dan pertimbangan-pertimbangan premodial dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam masyarakat Indonesia sebagai satu keseluruhan perlu ditekan supaya jangan merusak persatuan dan kesatuan bangsa.

BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang kami ambil adalah globalisasi memang tidak perlu ditakuti atau bahkan dihindari, karena pada dasarnya dengan adanya arus globalisasi, kita makin diperkaya dengan kebudayaan (positif) dari luar, tergantung bagaimana pintar-pintarnya kita dalam menyaring budaya yang memang sesuai dengan kepribadian bangsa kita dengan menanamkan flisafat Pancasila dalam hati nurani kita. Kalaupun kita berbicara mengenai pluralisme budaya di Indonesia, baiklah hal itu kita artikan sebagai kekayaan budaya nasional yang supraetnis tadi. Untuk menghadapi masa depan Indonesia, dan untuk mempersiapkan masyakat untuk memasuki era industri dan era-era selanjutnya, kita memerlukan unsur-unsur budaya yang lebih rasional ketimbang yang emosional dan premordial.

4.2. Saran
Bila kita memang sungguh-sungguh ingin melestarikan budaya asli Indonesia dan sekaligus meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa kita, ada baiknya kita tidak terlalu menonjolkan keetnisan kita, karena hal itu dapat menimbulkan dampak yang fatal, seperti yang dialami oleh bekas negara-negara komunis di Eropa Timur dan di benua Afrika, dimana pada saat itu terjadi pertentangan-pertentangan etnisme yang mengerikan dan berimbas pada timbulnya korban berjuta-juta manusia. Hal ini sekaligus dapat memecah belahkan persatuan dan kesatuan bangsa.

4.3. Daftar Pustaka
Simatupang, Maurits. Budaya Indonesia yang Supraetnis. Jakarta: Papas Sinar Sinanti.




0 komentar:

Posting Komentar